Heboh Jurnal Predator

Oleh Sudarsono Hardjosoekarto

Tulisan sejawat dari FMIPA UI, Terry Mart, berjudul ” Jurnal Predator ” (Kompas, 2 April 2013), sangat bagus dan mencerahkan. Akan tetapi, tulisan itu perlu dilengkapi dengan informasi terkait yang berimbang supaya dunia akademik kita tidak heboh yang sia-sia.

Sepanjang 2012-2013, dua artikel saya dipublikasikan pada Systemic Practice and Action Research (SPAR), salah satu jurnal milik penerbit terkemuka, Springer. Berkat tulisan pada jurnal ini, saya juga diminta editor SPAR untuk menjadi mitra bestari (reviewer) jurnal yang cukup banyak terindektasi tersebut. Di tengah kurun waktu terbitnya dua artikel pada SPAR itu, satu artikel saya yang lain dipublikasikan pada Human Resource Management Research, salah satu jurnal milik Sapub, penerbit yang masuk dalam daftar hitamnya Jeffrey Beall.

Terkait hebohnya tentang jurnal predator dalam kebijakan resmi Ditjen Dikti, Kemdikbud, saya berkomunikasi langsung dengan editor Sapub dan dengan Jeffrey Beall. Informasi ini kiranya dapat melengkapi tulisan Terry Mart dari sisi lain.

Penulisan artikel

Tiga artikel yang dipublikasikan pada dua penerbit itu—Springer yang top dan Sapub yang predator—adalah hasil riset yang dibiayai Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (UI).

Sebelum dipublikasikan, artikel itu telah melewati proses akademik yang panjang dan memenuhi asas recoverability, sesuai prinsip riset tindakan berbasis soft systems methodology yang dapat dipertanggungjawabkan. Riset lapangan, presentasi dalam forum akademik internasional, dan proses penjurian telah dilakukan secara lengkap, berulang, dan dalam waktu yang panjang.

Kepentingan utama saya kontak langsung dengan Beall adalah untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan Beall itu juga memenuhi asas recoverability akademik dan dapat dipertanggungjawabkan. Jangan sampai Beall menuntut kepada para kontributor (penulis), editor jurnal, dan penerbit dengan standar tertentu, tetapi cara kerja Beall sendiri asal-asalan. Mula-mula diskusi lancar, tetapi belakangan Beall tak bersedia menjawab beberapa pertanyaan saya yang penting.

Pertama, Beall tidak bersedia menjawab mengapa dia melakukan analisisnya berbasis penerbit dan bukan berbasis jurnal. Beall lebih berorientasi pada penerbit predator daripada jurnal predator. Metode seperti ini mengandung kelemahan mendasar.

Banyak penerbit yang sedang berkembang. Dalam satu penerbit, boleh jadi ada jurnal yang sudah bagus, tetapi ada juga jurnal yang sedang pada fase pertumbuhan. Dengan analisis yang berbasis penerbit ini, Beall lebih senang menyimpulkan bahwa penerbit—yang menurut dia predator—sebaiknya dihindari. Mestinya akan lebih adil bila yang dinilai itu jurnalnya, bukan penerbitnya.

Kedua, ketika ditanya, mengapa Beall memasukkan Eurojournal sebagai penerbit predator, padahal banyak jurnal yang diterbitkan oleh penerbit ini juga memiliki faktor dampak (impact factor) dan terindeks pada Scopus? Dengan enteng Beall menjawab, banyak jurnal masuk ke Scopus itu karena kepentingan bisnis Scopus semata?

Bila jawaban ini dibalik ke pertanyaan mengapa Beall menulis laman tentang penerbit predator, jangan-jangan juga hanya didasari kepentingan bisnis Beall atau penerbit di balik Beall. Boleh jadi, sebagai pustakawan, Beall akrab dengan penerbit printed tertentu yang tidak suka dengan berkembangnya jurnal-jurnal yang terbuka diakses secara bebas.

Ketidaksediaan Beall menjawab pertanyaan, dan menghentikan diskusi sepihak, membawa pada kesimpulan, kejujuran dan kualitas akademik Beall sangatlah rendah. Analisisnya sulit dipertanggungjawabkan, kalau tidak hendak dikatakan justru berpotensi sebagai skandal ilmiah.

Penerbit jujur

Secara bersamaan, saya juga berkomunikasi dengan editor Sapub tentang heboh jurnal predator itu. Dapat dipahami bila editor Sapub menyanggah analisis Beall, dan secara sepihak menegaskan jaminan kredibilitas dan kualitas terbitannya. Editor Sapub juga menyayangkan kehebohan komunitas akademik di Indonesia akibat dipakainya laman pribadi Beall oleh otoritas Ditjen Dikti.

Namun, berbeda dengan Beall yang tak jujur dan tak bersedia melanjutkan diskusi, editor Sapub lebih jujur dan terbuka kepada kontributor. Karena artikel saya telah melewati proses akademik yang panjang dan terdapat peluang diterbitkan pada jurnal lain, saya menarik artikel itu dari jurnal yang diterbitkan Sapub. Ternyata, editor Sapub sangat mudah dan cepat memenuhi permintaan saya tanpa harus membayar satu sen pun.

Menariknya, beberapa hari setelah artikel saya itu dihapus dari Sapub, editor Springer melengkapi pengenal obyek digital (digital object identifier) dari referensi untuk draf naskah saya yang akan terbit segera dengan artikel yang pernah diterbitkan Sapub itu. Jelas Springer tidak mempersoalkan Sapub. Menyadari penghargaan Springer kepada Sapub seperti itu, buru-buru saya minta editor Sapub untuk mengembalikan lagi artikel saya yang sudah ditarik ke dalam jurnal Sapub. Ternyata editor Sapub memenuhi permintaan saya lagi juga tanpa harus membayar sepeser pun. Pengalaman ini tentu bertolak belakang dengan informasi yang ditulis oleh sejawat Terry Mart.

Harus kredibel

Kriteria jurnal dan publikasi yang baik, yang tidak baik, yang direkomendasi, dan tidak direkomendasi sangatlah penting untuk kemajuan dunia akademik kita. Tentu, penetapan kriteria ini juga harus dilakukan berdasarkan metodologi yang kredibel.

Kriteria adanya alamat darat suatu jurnal atau penerbit memang penting. Namun, penetapan kriteria dengan hanya menggunakan fasilitas Google Earth, seperti dilakukan Jeffrey Beall, yang kemudian dipakai untuk menyimpulkan status predator suatu penerbit sangatlah dipertanyakan. Ambil contoh Jurnal SPAR: board of editor beralamat di New York, editor-in-chief tinggal di Belanda, deputy editor tinggal di Inggris, anggota international advisory committee tersebar di semua benua, penerbitnya berdomisili di Jerman, production correction team berlokasi di India, dan penulis berkantor di Depok. Sulit dipahami teknik ecek-ecek yang digunakan Beall untuk menentukan status predator suatu jurnal atau penerbit.

Karena itu, patut disayangkan bila kemudian laman pribadi Jeffrey Beall yang kualitas ilmiahnya dipertanyakan itu digunakan otoritas resmi Ditjen Dikti untuk menentukan kriteria baik tidaknya suatu jurnal dan publikasi. Beall sendiri menyatakan disclaimer dalam lamannya itu. Opininya hanyalah pendapat pribadi, tidak mencerminkan posisinya sebagai pustakawan di Universitas Colorado. Akan lebih bijak jika Ditjen Dikti sebagai otoritas tertinggi dalam penetapan kriteria jurnal dan publikasi yang berkualitas menggunakan prinsip, tata kerja, dan prosedur sendiri yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sudarsono Hardjosoekarto Dosen Departemen Sosiologi FISIP UI

Sumber: Kompas Cetak

Jurnal Predator atau Jurnal Abal-abal/Jurnal Tipu-tipu Siap Memangsa Kita

Sumber: http://sains.kompas.com/read/2013/04/17/08444975/Jurnal.Predator.Siap.Memangsa.Ilmuwan

Jurnal "Predator" Siap Memangsa Ilmuwan

Oleh IRWAN JULIANTO

KOMPAS.com – Tak kurang dari Gina Kolata, jurnalis sains-kesehatan kawakan koran New York Times, menaruh perhatian pada jurnal online ”pseudo-ilmiah” alias jurnal predator. Ilmuwan yang dimuat tulisannya malah harus membayar.

Tulisan Gina Kolata berjudul ”Scientific Articles Accepted (Personal Checks, Too)” dimuat di New York Times, 8 April 2013, dan dimuat ulang di International Herald Tribune pada 9 April 2013 dengan judul ”Taken in by Pseudo-Academic Journals”. Sebenarnya topik ini sudah ditulis fisikawan Universitas Indonesia, Terry Mart, sepekan sebelumnya dengan judul ”Jurnal Predator” di Opini Kompas, 2 April 2013.

Baik Gina Kolata maupun Terry Mart sama-sama merujuk pada Jeffrey Beall, pustakawan riset Universitas Colorado di Denver, Amerika Serikat. Beall mempunyai daftar hitam jurnal abal-abal yang dijulukinya sebagai predatory open-access journals. Tahun 2010, baru ada 20 penerbit jurnal predator, tetapi saat ini membengkak menjadi lebih dari 300. Ia memperkirakan ada sekitar 4.000 jurnal tipu-tipu saat ini yang siap memangsa ilmuwan yang membutuhkan publikasi artikel ilmiah mereka. Jumlah ini merupakan sedikitnya 25 persen jurnal online atau jurnal akses terbuka yang ada di dunia.

Maraknya jurnal ilmiah online, termasuk yang predator, merupakan akibat tingkat kebutuhan (demand) yang tinggi. Ilmuwan dan akademisi dari negara-negara sedang berkembang membutuhkan publikasi hasil riset mereka di jurnal-jurnal internasional. Di Indonesia, misalnya, akhir Januari 2012 Dirjen Dikti Kemdikbud mewajibkan para kandidat doktor sejak Agustus 2012 mengirimkan karya ilmiah ke jurnal internasional. Prasyarat ”yang betul-betul salah kaprah” ini pernah dikecam habis oleh Franz Magnis-Suseno lewat tulisannya di Kompas, 8 Februari 2012, ”Dikti di Seberang Harapan?”. Juga oleh Inaya Rakhmani lewat tulisannya ”Publikasi Ilmiah dan Solusi Jangka Pendek” di Kompas, 25 Februari 2013.

Jalan pintas

Tuntutan untuk publikasi ke jurnal nasional terakreditasi ataupun jurnal internasional ini tak jarang juga berkaitan dengan syarat kenaikan pangkat dan sertifikasi dosen serta dana hibah riset yang jumlahnya besar. Jurnal cetak internasional bergengsi, seperti Nature dan Science, ataupun jurnal-jurnal ilmu sosial yang diakreditasi nyaris mustahil bisa ditembus karena standar yang tinggi selain penulis harus menunggu antrean amat lama. Jurnal- jurnal bergengsi ini dikenal untuk artikel-artikel ilmiah yang ditelaah pakar seilmu (peer- reviewed) yang teramat ketat.

Karena itu, jurnal online merupakan alternatif atau jalan pintas yang menggiurkan. Jurnal open-access baru muncul sekitar 10 tahun lalu, tetapi segera mendapatkan sambutan antusias. Di AS, awalnya jurnal online yang dipublikasikan Public Library of Science amat disegani karena ditelaah pakar seilmu dengan amat ketat. Khusus untuk artikel-artikel ilmu kedokteran didata oleh PubMed, yang diseleksi karena kualitasnya tak perlu diragukan.

Namun, celakanya, keberadaan jurnal-jurnal online bergengsi mulai disaingi oleh jurnal-jurnal predator yang memungut bayaran cukup mahal sebagai imbalan tulisan yang pasti dimuat tanpa seleksi oleh tim pakar seilmu. Para editor jurnal predator ini hanya jadi pajangan, tak jarang mereka dijebak dengan iming-iming imbalan 20 persen penghasilan jurnal, seperti yang dilakukan The Journal of Clinical Trials & Patenting yang diterbitkan Avens Publishing Group, jurnal dan penerbit yang ada dalam daftar hitam Jeffrey Beall.

Thomas Price, asisten profesor endokrinologi reproduksi dan fertilitas di Fakultas Kedokteran Universitas Duke di North Carolina, AS, misalnya, bergabung dalam dewan redaksi The Journal of Gynecology & Obstetrics karena ia melihat nama-nama pakar yang disegani di situs web. Ia heran karena berkali-kali diminta mencari penulis dan memasukkan tulisannya sendiri. Ia menolak karena jurnal ilmiah yang benar tidak perlu melakukan cara-cara seperti itu. Ia sudah berkali-kali, selama tiga tahun terakhir, meminta namanya dicabut, tetapi tetap saja terpampang. Sekali seorang ilmuwan masuk, namanya sulit dicabut.

Penerbit lain yang juga ada dalam daftar hitam Beall adalah Omics Group yang dipimpin Srinubabu Gedela: memiliki 250 jurnal dan memungut bayaran sampai 2.700 dollar AS per makalah! Gedela mengaku seorang doktor dari sebuah universitas di India dan pakar bioteknologi.

Lain lagi dengan pengalaman Paulino Martinez, seorang dokter di Meksiko yang mengirimkan dua artikel sebagai respons terhadap surat elektronik yang ia terima dari The Journal of Clinical Case Reports. Keduanya diterima dan tentu saja ia senang. Namun, datanglah tagihan 2.900 dollar AS sebagai ongkos publikasi. Martinez minta kedua artikelnya ditarik, tetapi tetap saja diterbitkan. Sempat didiskon jadi 2.600 dollar AS, tetap Martinez tak mampu dan tak mau membayar. Akhirnya, setelah setahun berdebat lewat e-mail dan telepon, ia tak ditagih lagi walaupun ia tetap dianggap berutang.

Situasi di Indonesia

Terry Mart, ketika dihubungi kemarin, mengatakan, ilmuwan Indonesia seyogianya mengutamakan integritas ilmiah di atas kum dan gairah untuk mengejar akreditasi dosen serta hibah riset. Masalah jurnal predator akan dia bahas dalam seminar di Kampus UI Depok, Kamis besok.

Sunarto, doktor komunikasi UI yang sekarang mengepalai Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang, juga menyatakan keprihatinannya jika ada dosen yang hanya mengejar kepangkatan ketimbang pendalaman ilmu sehingga tak memedulikan kualitas jurnal ilmiah karena yang penting artikelnya bisa dimuat. Ia menyebutkan, ada penerbit di Yogyakarta yang secara khusus memublikasikan jurnal dengan biaya sekitar Rp 3 juta untuk setiap artikel.

Dirjen Dikti Kemdikbud punya daftar hitam jurnal dalam dan luar negeri yang tak diakui. Daftar jurnal internasional jauh dari lengkap. Di dalam negeri ada enam, lima di antaranya diterbitkan universitas negeri.

Sumber :
Kompas Cetak

Editor :
yunan

Invitation to submit to Human Resources for Health

Dear Colleague,

I am pleased to invite you to submit a manuscript to a new thematic series from Human Resources for Health entitled ‘Right Time, Right Place: Improving access to health service through effective retention and distribution of health workers’.

Health systems around the world are looking to improve access to health services and health system effectiveness. Two key interlocking components of a sustainable health workforce solution are to keep scarce skills in the system by effective retention strategies, and to enable them to be deployed where they can best make a positive difference to population health.

Many management, education and policy solutions to achieving "right time, right place" are being tried and tested in different countries. This thematic series sponsored by Health Workforce Australia (HWA) will report on:

New analysis
Strategic intelligence
Evidence that are pointing to improvements in retention and distribution of health workers
Provide new insights in what can be

The deadline for submissions is 31st August 2013 and the publication date is anticipated to be November 2013. James Buchan will be the series Editor (Health Workforce Australia and Queen Margaret University) and all manuscripts will undergo rigorous peer review according to the journal’s policy. Please note that the peer review process is entirely independent of Health Workforce Australia.

The thematic series is sponsored by Health Workforce Australia, who will be covering the Article Processing Charge (APC). Before submitting please contact James Buchan (email:James.Buchan) for funding information. Also please indicate ‘Right time, Right place’ thematic series in your cover letter.

For further information, please visit the Human Resources for Health website, read the blog post or contact the Editorial Office.

Yours sincerely,

Mario Dal Poz,
Editor-in-Chief

P.S. You can keep up to date with articles in your area of research by registering to receive article alerts.