Research centre REACH

MARAKNYA PENDIRIAN INSTITUSI KEPERAWATAN

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Maraknya Pendirian Institusi Keperawatan; kebutuhan atau kepentingan?

Oleh: SaldyYusuf, S.Kep.

Sejak disepakatinya keperawatan sebagai suatu profesi pada lokakarya nasional keperawatan tahun 1983, terjadilah pergeseran paradigma keperawatan dari pelayanan yang sifatnya vokasional menjadi pelayanan yang bersifat professional. Keperawatan kini dipandang sebagai suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek bio,psiko,sosio dan spiritual yang komperehensif, dan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang baik yang sehat maupun yang sakit dan mencakup seluruh siklus hidup manusia.

Sebagai profesi yang masih dalam proses menuju “perwujudan diri”, profesi keperawatan diperhadapkan pada berbagai tantangan. Pembenahan internal yang meliputi empat dimensi domain yaitu; Keperawatan, pelayanan keperawatan, asuhan keperawatan, dan praktik keperawatan. Belum lagi tantangan eksternal berupa tuntutan akan adanya registrasi, lisensi, sertifikasi, kompetensi dan perubahan pola penyakit, peningkatan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban, perubahan system pendidikan nasional, serta perubahan-perubahan pada supra system dan pranata lain yang terkait.

Kondisi keperawatan di Indonesia memang terpuruk dan tertinggal jauh dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Piliphina, Thailand, dan Malaysia, apalagi bila ingin disandingkan dengan Amerika dan Eropa. Pendidikan rendah, gaji rendah, pekerjaan selangit inilah paradoks yang ada. Rendahnya gaji menyebabkan tidak sedikit perawat yang bekerja di dua tempat, pagi hingga siang di rumah sakit negeri, siang hingga malam di rumah sakit swasta. Dalam kondisi yang demikian maka sulit untuk mengharapkan kinerja yang maksimal. Apalagi bila dilihat dari rasio perawat dan pasien, dalam satu shift hanya ada 2-3 perawat yang jaga sedangkan pasien ada 20-25 per bangsal jelas tidak proporsional.

Salah satu tantangan terberat adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga keperawatan yang walaupun secara kuantitas merupakan jumlah tenaga kesehatan terbanyak (52 % tenaga kesehatan adalah perawat) dan terlama kontak dengan pasien (24 jam, yang terbagi dalam tiga shift pagi, siang, dan malam), namun secara kualitas masih jauh dari harapan masyarakat. Indikator makronya adalah rata-rata tingkat pendidikan formal perawat yang bekerja di unit pelayanan kesehatan (rumah sakit/puskesmas) hanyalah tamatan SPK (sederajat SMA/SMU).

Berangkat dari kondisi tersebut, maka dalam kurun waktu 1990-2000 dengan bantuan dana dari World Bank, melalui program “health project” (HP V) dibukalah kelas khusus D III keperawatan hampir di setiap kabupaten. Selain itu bank dunia juga memberikan bantuan untu peningkatan kualitas guru dan dosen melalui program “GUDOSEN”.

Program tersebut merupakan suatu percepatan untuk meng-upgrade tingkat pendidikan perawat dari rata-rata hanya berlatar belakang pendidikan SPK menjadi Diploma III (Institusi keperawatan). Tujuan lain dari program ini diharapkan bisa memperkecil gap antara perawat dan dokter sehingga perawat tidak lagi menjadi perpanjangan tangan dokter (Prolonged physicians arms) tapi sudah bisa menjadi mitra kerja dalam pemberian pelayanan kesehatan.

Menjamur di Musim Kemarau

Sejak tahun 2000 terjadi euphoria Pendirian Institusi keperawatan Keperawatan baik itu tingkat Diploma III (akademi keperawatan) maupun Strata I, tidak hanya di kota Makasar, tapi juga di seluruh kabupaten di Sulawesi Selatan. Euphoria ini menjadikan Sulawesi Selatan sebagai Provinsi dengan jumlah Institusi keperawatan terbanyak di di luar pulau jawa (32 programs studi keperawatan), Sulawesi barat 5 program studi keperawatan. Sulawesi tenggara dan utara masing-masing 2 porgram studi keperawatan

Pertumbuhan institusi keperawatan di Indonesia menjadi tidak terkendali. Seperti jamur di musim kemarau (Husin,1992). Artinya di masa sulitnya lapangan kerja, proses produksi tenaga perawat justru meningkat pesat. Parahnya lagi, fakta dilapangan menunjukkan penyelenggara pendidikan tinggi keperawatan berasal dari pelaku bisnis murni dan dari profesi non keperawatan, sehingga pemahaman tentang hakikat profesi keperawatan dan arah pengembangan perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami. Belum lagi sarana prasarana cenderung untuk dipaksakan, kalaupun ada sangat terbatas. (Elly Nurachmah, 2005).

Dalam keterpaksaan itu, ada institusi keperawatan yang hanya memiliki mahasiswa sebanyak kurang dari 20 orang, sehingga tidak mampu menutupi biaya operasional, sebagai akibatnya institusi keperawatan keperawatan berlomba-lomba berebut mencari pendaftar dan mengabaikan proses seleksi. Tidak ketatnya seleksi penerimaan mahasiswa mengakibatkan rendahnya kualitas output alumni. Bila sudah begini jangan harap perawat bisa menjadi mitra dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan. Bukan bermaksud membandingkan, tapi adalah suatu kenyataan bahwa masih baiknya kualitas dokter diawali dari ketatnya penerimaan mahasiswa baru berbeda dengan seleksi mahasiswa keperawatan, ada yang mendaftar saja sudah syukur.

Keterpaksaan dan keterbatasan tersebut tentunya akan mengakibatkan tidak optimalnya kegiatan tri darma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Proses perkuliahan menjadi kurang lancar karena status dosen masih “pinjaman” dari perguruan tinggi lain”. Kegiatan penelitian menjadi mandul karena hubungan dosen dan mahasiswa seperti “jeruk minum jeruk”, apalagi pengabdian kepada masyarakat cenderung tak tersentuh.

Dengan semakin maraknya pendirian dan pertumbuhan institusi keperawatan, khususnya yang menerima calon peserta didik dari lulusan SMU atau SMK/SPK yang belum bekerja dan dalam jumlah yang besar, sudah dapat dipastikan bahwa produksi tenaga keperawatan professional akan lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan pemerintah dan masyarakat/swasta dalam memperkerjakannya dengan imbalan yang layak. Akibatnya pengangguran tenaga professional akan semakin menjadi-jadi serta nilai financial pelayanan/asuhan keperawatan professional akan terpuruk, terutama jika tidak didukung dengan kebijaksanaan yang kondusif (Hasruddin Djamal, 2001)

Fakta di lapangan

Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup mencengangkan. Hingga tahun 2005 mencapai 100 ribu orang. Ini disebabkan rendahnya pertumbuhan rumah sakit dan lemah berbahasa asing. Padahal setiap tahun, dari 770 sekolah perawat yang ada di Indonesia, lulusannya mencapai 25 ribu perawat. Ironisnya, data WHO 2005 menunjukkan bahwa dunia justru kekurangan 2 juta perawat, baik di AS, Eropa, Australia dan Timur Tengah. (Arifin Badri)

Fakta lain di lapangan, saat ini banyak tenaga perawat yang bekerja di rumah sakit dan puskesmas dengan status magang (tidak menerima honor seperserpun) bahkan ada rumah sakit yang meminta bayaran kepada perawat bila ingin magang. Alasan klasik dari pihak rumah sakit “mereka sendiri yang datang minta magang”. Dilematis memang, tinggal di rumah menganggur sayang, magang di rumah sakit/puskesmas tidak dapat apa-apa.

Saatnya kita untuk berpikir jernih dan realistis melihat kebutuhan pasar, seberapa banyak alumni yang bisa diserap pasar kerja (negeri dan swasta). Bukankah formasi CPNS sangat terbatas? walaupun tenaga kesehatan dan guru adalah formasi CPNS terbesar bila dibanding formasi profesi lain. Namun antrian sangat panjang (masih ratusan bahkan ribuan tenaga honor yang belum terangkat di negeri ini), dilain pihak pertumbuhan dan pembangunan rumah sakit baru praktis stagnan akibat kebijakan Zero Growth. Jadi membanjirnya pembukaan institusi keperawatan keperawatan apakah karena kebutuhan atau kepentingan???

Kemana arah pendidikan tinggi keperawatan

Seorang sahabat yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Kuwait mengirim E-mail. Dalam E-mailnya ia mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada perawat asal Indonesia yang bisa berkarier hingga menjadi Metron (Kepala Ruangan) alasannya pemerintah Kuwait bingung dengan system pendidikan keperawatan di Indonesia yang arahnya tidak jelas, sehingga mereka hanya mengakui ijazah D III keperawatan saja.

Nah sekarang pertanyaannya apakah proses pendidikan tinggi keperawatan yang ada sudah sejalan dengan criteria kompetensi yang ditetapkan oleh International Council of Nursing (ICN). yang mencakup tiga bidang, yaitu bidang Professional, Ethical and Legal Practice, bidang Care Provision and Management dan bidang Professional Development.

Kewaspadaan masyarakat.

Penerimaan mahasiswa baru sementara lagi digelar, dibutuhkan kewaspadaan masyarakat dalam memilih perguruan tinggi, jangan sampai membeli kucing dalam karung. Ada beberapa hal yang harus dipelajari sebelum memilih. Yang pertama aspek legalitasnya, apakah sudah ada izin pendirian dan penyelenggaraan dari Departemen Pendidikan nasional, sebab tidak sedikit perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan keperawatan hanya bermodal rekomendasi dari dinas kesehatan propinsi, departemen kesehatan, atau dari organisasi profesi (PPNI). Yang kedua yang perlu diperhatikan adalah sarana dan prasarana PBM utamanya ruang kelas dan laboratorium, bagaimana status ruang kelas yang digunakan apakah milik sendiri atau pinjaman. Yang ketiga adalah SDM institusi keperawatan yang bersangkutan apakah pegawai/dosen tetap atau paruh waktu/part time banyak institusi keperawatan hanya bermodalkan tenaga dosen dari luar yang notabene punya pekerjaan pokok di tempat lain, sehingga proses perkuliahan di institusi keperawatan yang bersangkutan pastilah dinomorduakan dan yang keempat adalah independensi institusi keperawatan tersebut apakah bisa menjalankan proses belajar mengajar dengan mandiri atau masih tergantung pada institusi lain.

Ditutup bukan solusi.

Melihat maraknya pendirian institusi keperawatan yang menjamur ada pendapat agar ditutup saja. Namun Penulis punya pendapat tersendiri. Yang pertama ketika institusi keperawatan tersebut telah memiliki izin penyelenggaraan dari Mendiknas maka institusi tersebut punya hak untuk tumbuh dan berkembang. Kedua Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan Organisasi profesi serta sector lain yang terlibat mulai dari proses perizinan juga memiliki tanggung jawab moril untuk melakukan pembinaan, ketiga kepada pemilik dan pengelola institusi hendaknya memberikan warna tersendiri pada institusinya dalam bentuk muatan local, misalnya pediatric nursing, emergency nursing, cardiac nursing, psychiatric nursing, dan lain lain yang pada akhirnya alumninya akan memiliki kompetensi tersendiri yang tidak dimiliki oleh alumni institusi lain, sehingga pada akhirnya nilai jualnya tidak serendah saat ini. Toh nantinya akan tutp sendiri oleh seleksi alam, mana institusi keperawatan yang bisa bertahan mana yang tidak, PTS bukanlah mesin uang, jika PTS dilihat sebagai mesin pencetak uang, maka nantikan proses kematiannya. (Peter M. Senge). (Saldy Yusuf, Central Coordinator MANUS)

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Never miss any important news. Subscribe to our newsletter.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Never miss any important news. Subscribe to our newsletter.

Recent News

× How can I help you?