Oleh: Ferry Efendi
Siapapun sepakat bahwa remaja merupakan generasi penerus bangsa dan pemegang estafet kepemimpinan di masa mendatang. Di tangan remaja, masa depan bangsa ini ditentukan. Salah satu syarat mutlak bagi remaja agar dapat berkreasi dan berinovasi dalam pembangunan adalah kondisi sehat yang salah satunya ditentukan pula oleh kesehatan reproduksinya. Sudahkah hak-hak kesehatan reproduksi remaja terpenuhi di negara ini?
Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2000, jumlah dan persentase penduduk Indonesia golongan usia 10-24 tahun adalah 64 juta. Sedangkan khusus untuk remaja usia 10-19 tahun (definisi WHO untuk adolescence) berjumlah 44 juta atau 21 persen. Namun patut disayangkan, aset potensial ini tidak menjadi prioritas indikator kesehatan yang penting bagi pemerintah. Hal ini dapat dicermati dari minimnya program pemerintah yang memiliki daya penegakan terukur dalam mencapai target kuantitas dan kualitas kesehatan reproduksi remaja.
Masalah kesehatan reproduksi remaja dari tahun ke tahun semakin mengkhawatirkan. Permasalahan kesehatan reproduksi remaja tersebut meliputi kehamilan tidak diinginkan, aborsi, perilaku seks bebas serta penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. Tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan memicu terjadinya aborsi yang terselubung dan tidak aman. Survei demi survei menunjukkan perilaku seks bebas tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi sudah merambah pedesaan. Permasalahan kesehatan reproduksi remaja bagaikan fenomena gunung es, hanya puncaknya saja yang terlihat sedangkan dasarnya menunggu momen yang tepat untuk muncul ke permukaan. Pada kenyataannya dengan jumlah remaja yang sangat banyak, sangat sedikit pelayanan yang tersedia, terpisah-pisah atau bahkan tidak ada sama sekali.
Komitmen yang dibuat pemerintah selama ini telah dimulai sejak tahun 1993 dengan dicetuskannya visi Depkes tentang Pola Pembinaan Kesehatan Reproduksi Remaja pada tahun 1993. Komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan keikutsertaan Indonesia dalam International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo Mesir pada tahun 1994. Upaya terkini yang dilakukan pemerintah adalah dimasukkannya agenda kesehatan reproduksi remaja dalam PROPENAS tahun 2000. Tetapi patut disayangkan pemenuhan komitmen ini tidak berjalan sistematis dan menyeluruh sehingga permasalahan yang dialami remaja semakin mencuat.
Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan masalah kesehatan reproduksi remaja sebenarnya sudah dapat dikatakan baik. Program-program kebijakan sudah bersandar pada hak-hak reproduksi dan cakupan kesehatan reproduksi. Akan tetapi parameter keberhasilan kebijakan yang diterapkan masih belum jelas dan bahkan tidak memiliki data keberhasilan. Kebijakan yang diambil dari dulu hingga kini masih terkesan kurang mengena dan hanya mengikuti tren yang berkembang di luar negeri. Sebagai contoh, negara kita rajin mengikuti beberapa pertemuan tingkat internasional yang membahas kesehatan reproduksi dan ikut mengambil keputusan tetapi kenyataannya sangat minim implementasi.
Pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja yang komprehensif sangatlah diperlukan. Target Indonesia sehat 2010 adalah menurunkan prevalensi permasalahan remaja secara umum termasuk anemia pada remaja, dan target agar remaja mendapat akses pelayanan kesehatan reproduksi melalui sekolah. Jika target ini hendak dipenuhi, tentu segala mekanisme pelaksanaan dan persiapan lintas sektoral perlu segera dilakukan. Target ini tidak boleh menjadi hiasan semata, tanpa pertanggungjawaban yang jelas termasuk juga ketika korban remaja terus bertambah, tanpa terukur, tanpa terperhatikan karena instrumen pengukuran dan perlindungan legalnya saja tidak ada.
Adapun solusi yang bisa ditawarkan dari permasalahan diatas adalah terciptanya kebijakan yang melibatkan remaja baik sebagai partisipan aktif maupun pasif. Tahap awal penentuan kebijakan dalam penanggulangan kesehatan reproduksi remaja adalah mengerti dunia remaja itu sendiri. Pemerintah seharusnya mengadakan survei dan penelitian tentang kondisi kesehatan reproduksi remaja di Indonesia. Penelitian sebaiknya dilakukan menyeluruh di semua wilayah Indonesia dan tidak boleh hanya memilih beberapa daerah sebagai cluster sampling. Setiap daerah memiliki pola hidup dan kebudayaan yang berbeda serta tingkat perkembangan yang berbeda sehingga secara tidak langsung pengaruh globalisasi dan arus informasi terhadap kesehatan reproduksi berbeda pula. Sebagai contoh kota Jakarta mungkin masih lebih baik dibandingkan kota Malang karena informasi yang diterima berbeda. Kondisi kesehatan reproduksi harus mencakup masalah-masalah serta kondisi remaja Indonesia seobyektif mungkin.
Identifikasi permasalahan kesehatan reproduksi digunakan untuk mencari atau mengetahui kebutuhan apa yang diperlukan remaja. Tiap daerah belum tentu memiliki masalah yang sama sehingga kebutuhan akan komponen kesehatan reproduksi berbeda. Katakanlah Surabaya lebih memerlukan klinik pemeriksaan kesehatan reproduksi sedangkan Malang lebih memerlukan konseling. Penentuan kebijakan harus bisa diterapkan di semua daerah di Indonesia tanpa kecuali karena tiap daerah juga memiliki masalah kesehatan reproduksi. Angin desentralisasi dapat memberikan kabar baik, karena diharapkan pemerintah daerah lebih mengenal karakteristik daerahnya masing-masing.
Program kebijakan pemerintah yang pertama kali dilakukan adalah menyusun suatu Undang-undang dan peraturan pemerintah yang didalamnya membahas kesehatan reproduksi. Isi kebijakan sebaiknya tidak hanya hukuman atau denda bagi pelanggar kesehatan reproduksi tetapi akan lebih baik bila didalamnya ditekankan pada strategi promotif dan preventif terhadap masalah kesehatan reproduksi yang ada.
Pelayanan-pelayanan kesehatan bagi remaja sebaiknya tidak hanya mengenai aspek medis kesehatan reproduksi, tetapi hendaknya juga menyakut hubungan personal dan menyangkut nilai-nilai moral. Pendidik sebaya (Peer Educator) juga dapat melengkapi upaya-upaya klinik sebagai teman bicara bagi remaja dan bertindak sebagai sumber informasi dan pelayanan kesehatan. Langkah selanjutnya adalah menggalang kerja sama dengan semua stakeholder baik pemerintah, swasta, LSM, organisasi profesi serta organisasi kemasyarakatan berdasarkan prinsip kemitraan dalam penyelenggaraan program.
Karena kompleksnya permasalahan kesehatan reproduksi remaja itu sendiri, sangatlah urgen bagi pemerintah untuk segera bertindak. Sudah selayaknya masalah kesehatan reproduksi remaja ini menjadi agenda 100 hari kabinet Indonesia bersatu. Sehingga harapannya, permasalahan kesehatan reproduksi remaja tidak berlarut-larut dan segera terpenuhi sehingga tercipta generasi penerus bangsa yang unggul baik dari segi fisik maupun mental.