Guru Besar Keperawatan Laki-laki Pertama di Indonesia

Akhirnya tidak ada lagi ketimpangan gender di bidang Keperawatan 🙂 . Prof Dr Nursalam, M.Nurs (Hons) yang merupakan Guru Besar Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya merupakan guru besar pertama bidang keperawatan yang berjenis kelamin laki-laki di Indonesia. Tepatnya hari ini, sabtu, 18 Januari 2014, beliau dikukuhkan menduduki jabatan fungsional tertinggi bagi seorang dosen. Semoga hal ini bisa memotivasi kita khususnya kaum laki-laki 🙂 untuk bisa segera menyusul beliaunya, amin. Berikut cuplikan berita pengukuhan dari media online.
Surabaya (beritajatim.com) – Universitas Airlangga Surabaya mengukuhkan tiga Guru Besar dari Fakultas Kedokteran di Aula FK Unair, Sabtu (18/1/2014) pagi. Ketiganya melengkapi sebanyak 416 Guru Besar yang telah dikukuhkan Unair.
Prof. Dr. Jusak Nugraha, dr., MS., Sp.PK sebagai Guru Besar Ilmu Patologi Klinik yang ke 414; Prof. Dr. Nursalam, M. Nurs (Hons) guru besar yang ke 415 sebagai Profesor dalam bidang Ilmu Keperawatan. Ketiga, Prof. Djoko Santoso, dr, PhD, SpPD, KGH, FINASIM, sebagai Guru Besar yang ke 416 dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Prof. Dr. Jusak Nugraha menyampaikan orasi ilmiah tentang ‘Vaksin Terapeutik sebagai Upaya Generasi Baru untuk Eliminasi Tuberkulosis’. Bahkan, saat ini Prof Jusak bergabung dengan Konsorsium Vaksin TB dan sedang mengembangkan vaksin baru, yakni vaksin terapeutik tuberkolosis (TB). Targetnya, vaksin ini selesai pada tahun 2019, didukung kerjasama oleh Balitbang Kemenkes.
Sedangkan Prof. Dr. Nursalam membuat karya ilmiah tentang pelayanan keperawatan di rumah sakit. Dengan judul ‘Caring sebagai Dasar Peningkatan Mutu Pelayanan Keperawatan dan Keselamatan Pasien’, lebih menekankan pada tanggung jawab yang berat ditunjang dengan sumber daya yang memadai, sehingga peran perawat akan di sorot sebagai profesi yang profesional.
Prof. Djoko Santoso menyampai pidato pengukuhan berjudul ‘Membangun Paradigma Baru: Menuju Kesehatan Ginjal Berbasis Pencegahan’. Profesor yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan II FK Unair tersebut memaparkan minimnya sisi prevalensi penyakit ginjal kronik di masyarakat. Padahal sumber daya dan alokasi pendanaan terkuras habis untuk itu, justru hanya tersisa secuil untuk pelayanan preventif.
“Cuci darah misalnya, mustahil bisa dinikmati oleh orang miskin, kecuali disubsidi. Inilah akibat dari politik kesehatan yang terlalu condong pada sisi pengobatan dan mengabaikan pentingnya pencegahan,” terangnya.
Karena itu, diperlukan strategi penanganan melalui pendekatan yang komprehensif. Targetnya bukan hanya menurunkan angka kematian pasien gagal ginjal kronik (GGK), tapi juga menurunkan peluang terjadinya GGK. “Filosofinya yakni memposisikan penyakit GK sebagai kegagalan penyesuaian terhadap lingkungan bio-sosio-ekonomi. Maka arah kebijakan kedokteran yang sekarang ini terlalu berat ke pengobatan, sebaiknya ‘hijrah’ ke sisi pencegahan,” jelasnya. [faf/but]
Sumber: http://beritajatim.com/pendidikan_kesehatan/195811/pagi_ini,_unair_kukuhkan_tiga_guru_besar_fk.html#.Utn6c7SwpLM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *