Kamis sore penulis datang berobat ke dokter gigi. Setelah mengetuk pintu ruang praktek, dokter tersebut mempersilahkan masuk penulis. “Ada keluhan apa”? itulah kalimat yang pertama kali terlontar dari dokter tersebut, tanpa sedikitpun senyum sang dokter melanjutkan anamnesa. Adegan berikutnya bisa ditebak, dengan mengandalkan kehebatan dan canggihnya peralatan, sang dokter mulai beraksi dengan dibantu perawat gigi disampingnya. Selesai tindakan si dokter menuliskan resep dengan meninggalkan sedikit pesan dan lagi-lagi tanpa senyum yang menghiasi bibirnya.
Sebagai orang kesehatan tentunya penulis memaklumi sikap dan tindakan dokter tersebut. Beliau mungkin sedang diburu waktu karena pasiennya berjubel diluar atau dokter tersebut harus praktek ke tempat lain. Tetapi permasalahannya adalah orang yang sakit bukan hanya sakit fisiknya tetapi bagian tubuh yang lainnya juga merasakan sakit. Sebagai seorang dokter tentunya para dokter gigi dituntut supaya mampu menerapkan profesionalisme dan komunikasi terapeutik pada pasiennya. Selain itu pendekatan yang digunakan bukanlah pendekatan per sistem lagi melainkan pendekatan holistik atau menyeluruh.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang bertujuan untuk memberikan rasa nyaman dan aman pada pasien baik berupa bahasa verbal maupun non verbal. Verbal dapat berupa kata-kata semisal salam ataupun hanya sekedar say hello pada pasien. Non verbal dapat berupa sentuhan ataupun senyuman yang ditujukan pada pasien. Sesakit-sakitnya pasien jika diberikan senyuman maka pasien tersebut akan merasa sangat dihargai dan diperhatikan. Namun sayangnya hingga saat ini jarang sekali seorang dokter gigi menerapkan komunikasi terapeutik tersebut. Secara tidak langsung hal ini akan memperlebar jarak antara dokter dan pasien. Pasien akan lebih tertutup dan tentunya dokter tidak mendapatkan data tambahan yang akurat. Dokter gigi merupakan pelayanan yang menjual jasa, dan tentunya empati saja tidak cukup ketika kita berusaha memuaskan pasien. Untuk meningkatkan kualitas dokter gigi mutlak diperlukan suatu upaya memanusiakan manusia. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan komunikasi terapeutik. Komunikasi yang baik antara pasien dan dokter tidak hanya untuk menjalin kedekatan sebagai seorang professional dengan pasien tetapi juga merupakan salah satu tanggung jawab profesi yaitu profesi kedokteran gigi.
Seiring dengan globalisasi peningkatan mutu pelayanan kedokteran gigi juga perlu ditingkatkan. Pelayanan prima dan pendekatan holistik mutlak diaplikasikan dalam setiap praktek dokter gigi. Pelayanan prima yang dimaksud disini adalah pelayanan kepada pasien yang berdasarkan standar keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien. Pelayanan yang berorientasi pada kepuasan pengguna jasa, itulah salah satu inti dari pelayanan prima tersebut. Untuk menuju kesana mutlak diperlukan suatu standar baik dari segi pelayanan, kualitas, produk dan pasien. Sehingga nantinya pasien akan puas dan dokter pun merasa dihargai dengan adanya standar tersebut.
Interaksi antara dokter gigi dan klien sangat potensial menimbulkan stressor. Stressor tersebut jika tidak dikelola dengan baik maka akan mengakibatkan kondisi yang patologis atau bahkan dapat menimbulkan penyakit lainnya. Sehingga tugas seorang dokter yang menyembuhkan malah sebaliknya yaitu memperberat penyakit pasien. Untuk itulah mutlak diperlukan pelayanan holistik yang menekankan pada aspek bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual. Pelayanan holistik berdampak pada peningkatan kualitas hidup pasien yang akan berdampak pada citra profesi dokter gigi.
Aspek yang pertama adalah aspek biologis. Pasien yang datang berobat ke dokter gigi tentunya mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya yaitu makan dan minum. Disinilah peran keahlian seorang dokter gigi untuk mereparasi dan membantu orang tersebut memenuhi fungsi fisiologis untuk menunjang keadaan biologis pasien. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia merupakan kunci mutlak sel-sel tubuh untuk mempertahankan hidupnya.
Aspek yang kedua adalah aspek psikologis yaitu perlunya dukungan psikis bagi pasien yang berobat ke dokter gigi. Seringkali dengan hanya mendengarkan suara mesin bor yang digunakan oleh seorang dokter gigi pasien menjadi cemas dan takut. Perasaan cemas dan takut dapat mengakibatkan perasaan trauma ketika mereka akan berobat ke dokter gigi lagi. Untuk itulah peran perilaku terapeutik yang menimbulkan ketenangan pada pasien sangat diharapkan. Penelitian oleh Ader pada tahun 2000 menunjukkan bahwa pasien yang cemas dan takut akan berdampak pada sekresi kortisol berlebih yang pada akhirnya akan menekan kerja sistem imun. Outputnya adalah pasien cemas dan takut akan mengalami waktu perawatan yang lama pula. Tindakan yang dapat dilakukan oleh dokter gigi adalah menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan dengan sejelas-jelasnya sehingga pasien kooperatif dan tidak merasa was-was lagi. Dokter gigi perlu menjelaskan setiap prosedur yang dilakukan baik prosedur yang berupa tindakan invasive maupun non invasive.
Aspek yang ketiga adalah aspek sosio-kultural. Aspek ini merupakan aspek yang tidak bisa dilepaskan ketika kita hidup dalam suatu lingkungan sosial. Hendaknya seorang dokter gigi juga peka terhadap status sosial ekonomi pasien yang tidak mampu. Profesi dokter merupakan profesi pengabdian tetapi tidak tertutup pula bahwa profesi tersebut juga merupakan lahan mencari nafkah. Tetapi seorang dokter gigi seyogyanya juga memiliki kepekaan sosial terutama kepada keluarga miskin yang memiliki keterbatasan akses ke pelayanan kesehatan. Selain itu perlu diperhatikan kultur masyarakat sekitar sesuai dengan pepatah “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Harapan kedepan dapat tercipta suasana yang harmonis antara dokter gigi dengan masyarakat sekitarnya.
Aspek terakhir merupakan aspek yang tidak dapat dipungkiri sebagai seorang manusia yang tentunya memiliki keterbatasan. Dalam melakukan tindakan medis seorang dokter dilarang untuk menjanjikan kesembuhan kepada pasiennya. Sebab sembuh sakitnya seseorang tergantung pada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itulah, pendekatan spiritual perlu diaplikasikan dalam setiap prakteknya. Seorang dokter dituntut untuk mengadopsi suasana religius baik didalam kehidupannya maupun ketika berhadapan dengan pasien. Pasien yang berserah diri kepada Tuhan diharapkan bebannya terkurangi sehingga mampu membentuk koping yang positif terhadap penyakitnya. Dari pasrah dan tawakkal inilah diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan pasien.
Kelima aspek diatas sangatlah menentukan bagi peningkatan kualitas pelayanan kedokteran gigi. Secanggih-canggihnya peralatan yang dimiliki namun tetap semuanya akan kembali kepada aspek memanusiakan manusia. Sehingga kedepan akan terbentuk profesi kedokteran gigi yang makin mantap, profesional dan mampu menjawab tantangan zaman.
Ferry Efendi