Kematian pejuang HAM, Munir, masih menyisakan misteri yang belum terpecahkan. Alumni Universitas Brawijaya ini diduga dibunuh dengan racun yang dimasukkan lewat makanannya. Seberapa kuatkah efektivitas racun yang merenggut nyawa pejuan HAM tersebut?
Indonesia berduka, salah satu putra terbaiknya meninggal di kursi Garuda yang menuju Belanda. Kematian Munir penuh dengan tanda tanya, sebab selain proses penyidikan di negeri Belanda yang lama juga diduga kematiannya bermuatan politis. Matinya bapak orang hilang ini mengingatkan tragedi Napoleon Bonaparte yang dicurigai keracunan arsen (As). Napoleon Bonaparte baru dicurigai meninggal karena zat arsen tahun 2000 setelah ahli patologi kriminal Prancis menemukan arsen tertempel di rambut Napoleon dengan kadar arsen 7-38 kali lebih tinggi dari normal . Zat ini telah dikenal 2400 tahun yang lalu di Yunani sebagai obat dan racun. Dahulu senyawa arsen organik digunakan untuk pengobatan sifilis, epilepsi, psoriasis, dan amoebiasis. Namun peraturan pemerintah agar mengurangi kandungan Arsen yang diizinkan pada makanan dan lingkungan pekerjaan telah meningkatkan segi keamanan dan menurunkan kasus keracunan zat tersebut tetapi produksi herbisida yang mengandung arsen tetap meningkat.
Tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna menjadikan zat tersebut sebagai pembunuh paling sempurna. Kelebihan inilah yang membuat zat tersebut mudah dicampurkan pada makanan atau minuman tanpa dicurigai korban. Gejala keracunan umumnya seperti muntaber, sehingga sering mengelabuhi keluarga dan dokter. Arsen sendiri, mudah didapat di toko bahan kimia, sebab menjadi bahan dasar untuk membuat racun seperti racun tikus. Selain itu racun ini mudah diperoleh dalam berbagai bentuk seperti pestisida, racun tikus (warangan), racun semut, herbisida, obat-obatan homeopati, bahan cat, dan keramik (Dyro, 2002). Arsen dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut, inhalasi (debu arsen dan gas arsin) serta melalui kulit. Menurut Knight (1991) paparan dengan dosis toksis awalnya menyebabkan rasa terbakar di mulut dan tenggorokan serta rasa sempit di tenggorokan. Hal ini diikuti oleh nyeri perut, kram, diare dan muntah. Paparan arsen akut bentuk gas menyebabkan nyeri kepala, lemah, mual, pusing dan sesak disertai distress pencernaan. Diare dimulai seperti air cucian beras secara progresif sampai terjadi perdarahan. Feses dan napas mungkin berbau seperti bawang putih. Kemudian terjadi vertigo, diikuti delirium, koma, dan sering kejang. Setelah itu terjadi kolaps sirkulasi dengan gagal hati dan ginjal.
Arsen bekerja dalam tubuh dengan cara mengikat gugus sulfhidril terutama pada enzim serta mempengaruhi kerja gen. Arsen dibuang melalui tinja, keringat, ASI, rambut, kulit, paru, dan urine. Masa paruh untuk ekskresi As dalam urin adalah 3-5 hari. Pada orang dewasa, kadar normal dalam urine 100 ?g/kg, rambut 0,5 ?g/kg, dan kuku 0,5 ?g/kg. Kadar dalam rambut pada keracunan 0,75 mg/kg dan pada kuku 1 mg/kg atau lebih. Kadar dalam darah normal anak-anak 30 ?g/kg, urine 100 ?g/24 jam.
Kelemahan Arsen adalah sifatnya yang mudah terakumulasi pada jaringan keras seperti kuku dan rambut menyebabkan racun ini mudah terdeteksi bahkan pada korban yang sudah berupa kerangka sekalipun. Menurut laporan otopsi yang dilakukan oleh National Forensic Institute negara Belanda kadar As yang ditemukan dalam tubuh Munir sebesar 460mg dalam lambung dengan ambang batas 150-200 mg. Pada kasus Munir sangat penting untuk diketahui masuknya racun secara akut atau kronis. Bila akut, kejadiannya cepat dengan dosis yang tinggi. Sementara bila kronis, arsen masuk dengan dosis rendah namun dengan waktu yang lama. Hal ini penting untuk mengetahui dimana tempat kejadian arsen masuk ke tubuh Munir. Kalau akut berarti cepat, bisa di sekitar bandara dan pesawat sedangkan kalau kronis, maka harus dilihat lagi beberapa gejala ke belakang selama Munir masih hidup.
Lalu siapakah pembunuh Munir? Berdasarkan sejarahnya, arsen selalu digunakan oleh atau melalui tangan orang yang dekat dengan korban dan punya akses ke makanan dan minuman. Siapapun patut dicurigai, namun hendaknya penyelidikan terhadap kasus Munir diproses secara cermat dan koordinasi dengan berbagai pihak. Baik keluarga, orang-orang didekatnya, ahli forensik serta kepolisian. Hanya dengan penanganan yang terkoordinasi inilah lambat laun kasus ini akan menemui titik terang. Namun satu hal yang patut ditegaskan kepada si pembunuh bahwa matinya Munir merupakan simbol keadilan dan kebebasan HAM yang harus terus diperjuangkan di bumi Indonesia.