Artikel pernah diterbitkan di Majalah Pioners PSIK FK Unair
Oleh: Ferry Efendi
Dari karyawan level bawah sampai atas, tak ada topik yang semenarik masalah gaji. Maklumlah, sehebat apapun sistem yang dipilih dan sebijak apapun kebijakan yang ditempuh, kalau itu menyangkut masalah gaji, selalu saja berpeluang mengundang suasana panas. Hal ini bermula dari keluhan perawat ruang HIV/AIDS yang mengisahkan gaji yang mereka terima ibarat “besar pasak daripada tiang”. Dengan beban kerja dan resiko yang begitu tinggi mereka hanya digaji sebesar 400 ribu perbulan (Kompas, 1/12/04), adilkah sistem penggajian tersebut bagi sebuah profesi yang mulia?
Dalam suatu diskusi panel yang digelar oleh PSIK FK Unair, salah satu pembicara menyatakan bahwa profesi merupakan “highly intellectual specialized services” dan profesi perawat merupakan salah satu gambaran pernyataan tersebut. Seorang perawat dituntut untuk memiliki highly intellectual, dalam artian setiap tindakan yang dilakukan perawat memiliki dasar-dasar ilmiah dan rasionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Idealnya seorang perawat memiliki IQ rata-rata atau diatas standar yang berlaku ditambah dengan EQ dan SQ yang tinggi. Namun apa hendak dikata, dengan gaji yang hanya cukup membeli nasi bungkus otak kita dituntut untuk bekerja ekstra keras. Bukan hanya karbohidrat yang diperlukan, tubuh juga memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah cukup. Akankah performance perawat tetap bagus atau meningkat dengan suplai makanan yang seadanya? Atau apakah ini termasuk “harga yang harus dibayar” sebagai salah satu bentuk pengabdian?
Profesi Vs Pengabdian
Sejak tahun 1984 dikembangkan kurikulum untuk mempersiapkan perawat menjadi pekerja profesional, pengajar, manajer, dan peneliti. Kurikulum inilah yang mendasari berdirinya Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1985. Output yang diharapkan adalah lulusan ners yang memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal yang baik. Perlahan namun pasti, itulah profesi keperawatan yang sedang berbenah diri.
Sebagai suatu profesi yang luhur dan mulia, salah satu tujuan profesi keperawatan adalah melayani dan mengabdi. Seperti ketika Florence Nightingale merawat orang-orang sakit tanpa mengharapkan balas jasa dari pasien tersebut. Itulah jiwa atau inti dari ilmu keperawatan. Sampai saat ini paradigma tersebut sebenarnya tidak mengalami perubahan. Hanya saja, paradigma masa lalu tersebut perlu direaktualisasikan kembali sehingga sesuai dengan zaman sekarang ini. Perawat tetaplah bidang pengabdian dan menganggap perawat sebagai pekerjaan mencari nafkah juga tidak nista. Keduanya bersintesis dalam apa yang disebut profesi perawat.
Kita tidak perlu memungkiri, ketika kita bergelut dengan suatu profesi maka profesi inilah yang akan kita jadikan tempat mencari nafkah. Indikator profesi perawat dianggap pekerjaan itu bisa kita lihat saat rekrutmen perawat baru, baik honorer maupun PNS. Puluhan bahkan ratusan lamaran dikirimkan. Apa yang mereka cari? Jelas bahwa dalam tahap awal mereka butuh pekerjaan karena selain telah memiliki kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan, juga mayoritas mereka mungkin membutuhkan pendapatan untuk menopang hidupnya. Tetapi harus diingat juga, dalam profesi tersebut telah tercakup di dalamnya jiwa untuk mengabdi. Jika memang perawat didesain untuk mengabdi bukan berarti perawat tidak berhak untuk mendapatkan hidup yang layak. Kesejahteraan, itulah yang kini sedang diperjuangkan baik oleh PPNI maupun seluruh insan keperawatan di negara kita. Logikanya, bagaimana perawat bisa mengabdi dengan tenang sementara dapur rumahnya tidak pernah mengepulkan asap? Bagaimana perawat bisa merawat pasien dengan sepenuh hati sedangkan anak-anaknya butuh pakaian dan makanan yang layak?
Sebagai sebuah profesi semestinya perawat memperjuangkan kesejahteraan yang yang masih jauh dari harapan. Untuk itulah sebagai wadah perjuangan para perawat, seyogyanya PPNI memasukkan misi kesejahteraan selain misi-misi lainnya. Misi Kesejahteraan jelas memiliki tujuan agar perawat dapat hidup sejahtera. Sebab berbicara tentang kesejahteraan perawat tentunya berimplikasi pada mutu atau kualitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan. Adalah hampir mustahil mengejar pelayanan prima jika tidak dibarengi dengan pembicaraan pengimbangan kesejahteraan perawat yang memadai pada masa sekarang ini.
Menata langkah kedepan
Banyak tantangan berat yang menghimpit profesi kita, baik dari intern maupun ekstern profesi. Jika dibandingkan dengan sejawat kita yang berada di ASEAN, kondisi perawat di Indonesia memang terpuruk. Keterpurukan ini diperparah oleh kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada profesi perawat. Baru-baru ini para perawat di Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe tidak setuju dan menyatakan sangat kecewa dengan kebijakan Menteri Kesehatan RI yang hanya memberikan tunjangan kepada para dokter yang bertugas di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (www.acehkita.com). Pasalnya, Depkes hanya memberikan tunjangan kepada dokter umum dan dokter spesialis yang bertugas di seluruh wilayah NAD masing-masing sebesar 5 juta dan 7,5 juta. Hal ini sangat ironis sekali mengingat Depkes sebagai stake holder yang membawahi pelayanan kesehatan seolah-olah melecehkan dan menganggap rendah profesi perawat. Penulis yakin sejawat kita, para perawat di NAD juga 24 jam memberikan asuhan keperawatan bagi para korban pasca Tsunami. Mereka bahu-membahu dengan profesi lain untuk mendedikasikan dirinya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Tak layakkah mereka mendapatkan penghargaan serupa?
Salah satu strategi melangkah ke depan adalah pendidikan berkesinambungan bagi profesi kita. Pertanyaan yang muncul adalah, siapa yang harus membiayai seluruh proses pemberdayaan profesi keperawatan? Tidak hanya pendidikan, tetapi juga sosialisasi paradigma baru, pembuatan peraturan, peningkatan jasa keperawatan, dan sebagainya. Mengharapkan pemerintah untuk berperan dalam menyiapkan perawat yang memiliki standar global tentunya bagai pungguk merindukan bulan, apalagi dengan kondisi anggaran negara yang defisit seperti sekarang. Alternatifnya adalah konsumen pemakai jasa keperawatan. Inipun tidak bisa mencakup semua konsumen sebab 36 juta warga penduduk miskin tentunya belum mampu untuk mengaksesnya. Tarif jasa keperawatan yang dinaikkan pada golongan menengah ke atas diharapkan mampu menjadi alternatif solusi. Dengan kenaikan tarif jasa keperawatan diharapkan selain sebagai subsidi silang juga bisa memberikan kontribusi yang nyata bagi perkembangan keperawatan.
Di era pemulihan ekonomi dan political will pemerintah yang patut dipertanyakan ini, seharusnya profesi kita lebih mandiri. Dalam artian jangan pernah mengandalkan orang lain ketika menata internal keperawatan. Kedepan, perawat dituntut untuk handal, cepat, akurat dan memiliki mental yang pantang menyerah. Analisis kekuatan dan kelemahan yang tajam disertai dengan penyelesaian yang tepat merupakan langkah yang harus diprioritaskan. Hal ini tidak berarti kita berjalan sendiri tanpa koordinasi dengan stake holder ataupun profesi lain. Koordinasi, kerjasama serta selalu terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun merupakan hal dasar yang tidak boleh ditinggalkan. Harapan ke depan adalah tidak ada lagi perawat yang mengeluhkan bahwa mereka merasa digaji underpaid atau mereka kerja sampingan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Akhirnya dengan segala keterbatasan sebagai manusia, profesi keperawatan akan selalu menebar senyum, kesabaran dan karya mulia bagi pasien dalam keadaan apapun, meskipun terkadang profesi kita terlupakan oleh mereka. Tetapi percayalah, perjuangan insan keperawatan akan sampai pada suatu masa dimana kita benar-benar dihargai sebagai sebuah profesi yang profesional, seperti kata Mariah Carey dalam syair lagunya “There is a miracle when you believe”.
Copyright: Ferry Efendi