Research Center REACH

Jobless among Indonesian Nurses: Whose Responsibility?

http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/jobless-among-indonesian-nurses-whose-responsibility/
by Syaifoel Hardy
Tanggal 28 Februari lalu saya diundang untuk memberikan kuliah umum di sebuah STIKES swasta di Bangkalan Madura. Dari Surabaya terminal bus, saya dijemput oleh seorang rekan lama, perawat senior yang bekerja di sebuah Puskesmas kecil di bagian pantai Utara Sampang. Kami berdiskusi lama hingga larut malam.

Ketika bertanya berapa jumlah perawat yang bekerja di tempatnya, Puji Prihandoko, nama perawat tersebut, bilang, ada lima orang. Namun hanya satu yang statusnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Selebihnya adalah tenaga sukarelawan (Sukwan), yang berpenghasilan tidak menentu. Terkadang Rp 400 ribu/bulan, meski kemungkinan bisa hanya Rp 25 ribu saja.

Puji terbengong ketika saya tanyakan berapa lama kira-kira status Sukwan ini harus berjalan.

Pada bulan yang sama, saat saya ke STIKES Yarsi di Lombok, mendapatkan gambaran serupa. Irwan, Ketua BEM STIKES Yarsi, yang menemani saya seharian di sana mengungkapkan, bahwa generasi muda Lombok banyak memimpikan untuk jadi PNS, meskipun mengetahui bahwa kemampuan Pemerintah untuk mengangkat perawat yang baru lulus adalah 0%, sebagaimana pula yang dikemukakan oleh Abdul Muin, Ketua Jurusan Keperawatan STIKES Yarsi.

Apa yang terjadi di Kecamatan Sukobanah Madura serta fenomena yang ada di Lombok ini hanyalah sebagian kecil dari gambaran status pengangguran perawat Indonesia yang berada di Tanah Air. Belum lagi di Jawa, di mana jumlah lembaga pendidikan keperawatannya ratusan. Menurut Abdul Muin, tidak kurang dari 600 buah lembaga pendidikan keperawatan saat ini di Indonesia. Tuntutan perkembangan jumlah lembaga pendidikan ini tidak diikuti secara seimbang dengan jumlah kesempatan kerja yang ada di Indonesia. Continue reading “Jobless among Indonesian Nurses: Whose Responsibility?”

Managing Characters in Nursing Education

by Syaifoel Hardy
Beberapa bulan lalu, saya menerima email dari seseorang yang tidak saya kenal. Besar kemungkinan dia seorang mahasiswa, terlepas apakah dia seorang mahasiswa murni atau seorang perawat yang sambil bekerja lantas meneruskan pendidikannya.

Apa yang membuat saya agak ‘heran’ dengan emailnya adalah, seperti masuk rumah seseorang. Tanpa mengetuk pintu dia langsung nyelonong. Sebagai ‘pemilik rumah’ saya tentu saja kaget. Lantaran memasuki wilayah privasi. Yang dia lakukan adalah, dia langsung to the pont, meminta saya untuk memberikan artikel yang sesuai dengan penelitiannya.

Mengetahui maksudnya dalam email, sebenarnya saya tidak keberatan. Yang menjadi concern saya, dia mestinya punya ‘etika’ bagaimana sikap kita, secara general, sebelum masuk rumah orang lain. Dia harus ketuk pintu atau tekan bel atau mengucap assalamu’alaikum. Kemudian perkenalkan diri, sampaikan latar belakang serta tujuan mengapa anda memasuki rumah kami.

Kejadian di atas, email ethics, adalah satu contoh yang banyak kita temui, bukan hanya pada kalangan nursing students saja. Banyak kesempatan dalam pelayanan kesehatan, perawat juga rata-rata kurang element awareness nya di bidang customer services ini. Etika telepon saja kurang paham. Manfaat senyum pada customer juga tidak paham. Demikian pula teknik komunikasi sampai dengan etika berpakaian. Semua ini merupakan bagian dari pembinaan karaktek yang mestinya terintegrasi dalam pendidikan keperawatan kita.

Curriculum

Kurikulum pendidikan keperawatn kita sebenarnya sudah menyentuh aspek etika keperawatan. Hanya saja, masih terlalu umum sifatnya. Apa yang tertuang dalam Sillaby Nursing Ethics biasanya menyangkut aspek legal individual nurse serta accountability nya terhadap praktik keperawatan. Tapi kurang menyentuh esensi sikap perawat itu sendiri.

Sebagi contoh, dalam Silabi tidak mungkin tercantum bahwa faktor ‘senyuman’ seorang perawat memiliki peranan yang besar dalam pelayanan kesehatan. Silabi juga tidak menyebutkan etika email, etika berkomunikasi lewat telepon, etika menyapa pasien serta komunikasi lain. Ringkasnya, silabi ini hanya menyentuh hal-hal yang besar. Sehingga, tidaklah salah memang apabila perawat waktu menyambut pasien pertama kali datang, dengan tanpa senyuman. Silabi juga tidak akan menyalahkan bila perawat menulis email tanpa ada pendahuluan atau salam, meskipun akibat dari sikap perawat ini bisa berakibat pada reputasi organisasi di mana dia bekerja menjadi taruhannya. Continue reading “Managing Characters in Nursing Education”

Kualitas Nursing di Indonesia: Penggerogotan Sistematis Profesi

Pada tanggal 2 Juli 2008, Corporate Nurse Qatar Petroleum (QP) mengedarkan informasi lewat email ke seluruh Chief Nurses QP, yang bunyinya: “I am thinking of requesting a recruitment drive from HR. Please could you let me know which nationality of nurses you require!” Pada hari yang sama, Chief Nurse dari Messaieed, menjawab: Hi Debbie – no immediate req from MMC – however (once unfreeze of new positions) Ambulance Nurses – Filipino or Indonesia; and Nurses – Indian, Filipino, or Indonesian.

Kata ‘Indonesian’ di atas, mengacu kepada nurses yang berasal dari Indonesia. Indonesian nurses diakui atau tidak, sudah memberikan image positif di QP, salah satu perusahaan penghasil minyak dan gas bumi terbesar di dunia. Indonesian nurses, mewakili negara Indonesia, telah sanggup mengukir nama harum bangsa, sehingga diminati, dicari dan dibutuhkan partisipasi aktifnya untuk turut membangun negara lain, dalam hal ini Qatar.

Apakah dengan adanya permintaan dan rekomendasi sebagaimana tersebut di atas, lantas otomatis akan berarti bahwa Indonesian nurses ini secara kualitas di ‘atas’ nurses dari negara-negara lain? Jawabannya: Tunggu dulu!

Hanya karena adanya permintaan tersebut, kita tidak bisa secara gegabah mengambil kesimpulan bahwa nurses kita lebih baik dari Malaysia, Singapore, Thailand, Yordania, Romania, USA serta UK yang tidak disebutkan sama sekali. Meski kita boleh berbangga diri, namun itu belum cukup untuk menjawab pertanyaan di atas. Sekedar informasi saja, pengirim email (Corporate Nurse) dan yang menjawab (Chief Nurse), kedua-duanya berasal dari dan berkebangsaan Inggris! Jadi, demand and recommendation itu muncul bukan karena KKN!

Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang pengusaha Jeans di Dubai, dari Jakarta yang mengekspor produknya ke kawasan Timur Tengah dan Afrika. Ketika ditanya apakah kualitas barang-barang ekspor ini sama dengan yang dipasarkan di Indonesia? Jawabannya: tidak! Mulai dari bahan mentah, pengolahan hingga pengepakannya. Itu berarti bahwa, barang-barang yang diekspor ini, memiliki nilai dan kandungan mutu yang berbeda dengan yang beredar di dalam negeri. Continue reading “Kualitas Nursing di Indonesia: Penggerogotan Sistematis Profesi”

× How can I help you?