Masih ingat Timor Timur yang pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia hingga tahun 1999? Benar sekali, sekarang dikenal dengan Timor-Leste yang menempati separuh dari pulau Timor dengan luas 14,610 km persegi terbagi atas 13 distrik, 67 sub-distrik, 498 desa (suco) dan 2336 dusun (aldeias). Timor-Leste berpenduduk 1,015,187 pada tahun 2006. Lima puluh lima persen penduduk bertempat tinggal di wilayah tengah, 20% di wilayah barat dan 25% di wilayah timur Timor-Leste. Dua kota besar adalah Dili dan Baucau yang dihuni sekitar 29% penduduk, sedangkan 70% tinggal di daerah pedesaan. Terdapat 16 bahasa daerah, namun bahasa utama yang digunakan adalah Tetum.
Dua dari lima orang penduduk dalam kondisi miskin, pada umumnya penduduk yang tinggal di perdesaan terutama di wilayah barat. Dua puluh persen penduduk hanya berpenghasilan US$1 per hari dan lebih dari 60% kurang dari US$2 yang diperberat dengan tingginya angka pengangguran (43%). Kondisi ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya angka kematian dan kesakitan pada penduduk Timor-Leste. Data terakhir, Timor-Leste menempati urutan ke 142 dari 177 negara untuk Human Development Index (MoH, 2007)
Di antara indikator kesehatan, ternyata angka kematian bayi, angka kematian balita dan angka kematian ibu menunjukkan status kesehatan penduduk yang memprihatinkan. Angka Kematian Bayi 88 per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian Neonatal 33 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita adalah 130 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi dan balita yang tinggi merupakan akibat dari tingginya proporsi anak yaitu lebih dari separuh yang meninggal sebagai akibat dari malnutrisi atau gizi buruk, serta kurang dari seperempat anak anak dengan gejala demam atau ISPA/ARI dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan penanganan yang memadai (BSP, 2007; MoH, 2007).
Timor-Leste merupakan salah satu Negara dengan Angka Kematian Ibu tertinggi di wilayah Asia Tenggara, dengan estimasi hingga 880 ibu meninggal dalam 100,000 kelahiran hidup. Dari sekitar 45,000 persalinan setiap tahun, sekitar 400 orang meninggal, yang berarti lebih dari satu orang ibu melahirkan yang meninggal setiap hari (BSP, 2007). Penyebab utama tingginya kematian ibu adalah karena masalah yang berhubungan dengan komplikasi kehamilan dan kelahiran bayi. Kondisi ini diperberat dengan besarnya proporsi ibu hamil (90%) yang melahirkan di rumah dan hanya ditolong oleh tenaga tidak terampil seperti dukun beranak yang tidak saja menimbulkan kematian pada ibu, tapi juga pada neonatus/bayi. Satu dari 16 orang perempuan Timor meninggal selama kehamilan.
Selain angka kematian yang tinggi pada bayi, balita dan ibu, angka kesakitan penduduk juga cukup tinggi, terutama tuberculosis, penyakit yang ditularkan melalui vektor, yaitu malaria, demam berdarah dan STI serta HIV/AIDS. Tuberkulosis merupakan penyakit endemik di Timor-Leste, dengan estimasi 140 kasus tuberculosis untuk setiap 100,000 penduduk. Dilaporkan bahwa lebih dari 20-25% konsultasi di fasilitas kesehatan berhubungan langsung dengan penyakit akibat nyamuk. Malaria falcifarum dan malaria vivax dicermati lebih kurang sama, sedangkan Demam berdarah terjadi pada epidemik sporadik. Begitu pula tentang masalah HIV/AIDS, walaupun data kurang adekuat, namun tingkat perilaku yang berpotensi beresiko menunjukkan bahwa masalah ini akan mempengaruhi semua usia.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh tenaga kesehatan adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan. Ketika kunjungan rumah pada pasien dengan masalah TBC di Aileu Vila, kondisi rumah yang memprihatinkan dengan luas ruang yang amat terbatas. Rumah terlalu sempit untuk dihuni keluarga besar, kurang ventilasi dan sinar matahari langsung yang bisa masuk ke dalam rumah, serta lingkungan rumah yang kotor, ditambah lagi dengan perilaku hidup sehat yang belum dimiliki. Kebiasaan hidup yang kurang mendukung kesehatan, seperti tidak pernah menjemur kasur langsung di bawah sinar matahari, kebersihan lingkungan dalam dan luar rumah tidak dipelihara dengan baik, membuang sampah sembarangan dan tidak menerapkan prinsip prinsip pencegahan penyakit dari seorang anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain. Program DOTS yang tidak diimplementasikan secara benar, yaitu dengan temuan kasus TB paru pada saat hari libur, pasien tidak diberi obat.
Masalah kesehatan dan risiko gangguan kesehatan yang sama, juga ditemukan di Kecamatan Remexio saat kunjungan langsung pada September 2007. Terdapat banyak kasus kurang gizi pada semua kelompok umur, khususnya anak anak dan perempuan. Kelemahan karena ketidaktahuan sebagai akibat dari tingginya angka buta aksara atau rendahnya pendidikan dari sebagian besar penduduk mempengaruhi kemampuan untuk memahami akibat dari perilaku yang beresiko tinggi. Praktik budaya yang membahayakan seperti disparity dalam proses pengambilan keputusan dan perilaku yang negatif untuk memperoleh pelayanan kesehatan tampak mengkontribusi pada tidak optimalnya pemanfaatan pelayanan kesehatan. Perempuan juga memiliki status yang rendah dalam keluarga, ditambah lagi dengan beban kerja dan tanggung jawab rumah tangga yang berat.
Pemerintah Timor-Leste komit untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas secara efisien dan efektif dalam upaya mengatasi berbagai masalah kesehatan yang dialami penduduk. Kementrian Kesehatan telah menginisiasi program pembangunan nasional kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan MDGs yang ditargetkan pada tahun 2015.
Program kesehatan nasional yang sudah ditetapkan Pemerintah Timor-Leste adalah:
1. Program Kesehatan Ibu dan Anak yang mencakup pelayanan obstetrik darurat dasar, asuhan esensial pada bayi baru lahir, Manajemen Terpadu Balita Sakit (IMCI), pilihan pelayanan kesehatan reproduktif.
2. Program promosi, perlindungan dan pencegahan yang mencakup; program imunisasi nasional, penggunaan kelambu, pendidikan tentang nutrisi dan promosi untuk pertumbuhan dan gizi sehat, kesehatan jiwa, alkohol, penyalahgunaan obat dan tembakau, STIs, HIV/AIDS, perawatan mata, perawatan mulut, air minum yang aman dan pengamanan makanan, vitamin A dan suplemen zat besi serta yodium.
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Epidemik.
4. Program Manajemen Terpadu beberapa Penyakit tertentu, seperti; Malaria, Demam berdarah, HAST [STIs & HIV/AIDS & TB], Lepra, Infeksi Saluran Pernafasan, diare, penyakit parasit, hipertensi dan diabetes, penyakit terkait dengan kebiasaan merokok.
5. Pelayanan darurat pada kasus trauma dan kecelakaan, seperti; kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di rumah dan tempat kerja.
Program kesehatan nasional yang sudah dicanangkan dan secara bertahap diimplementasikan oleh Pemerintah Timor-Leste memerlukan manajemen dan dukungan berbagai sumber secara memadai. Pencapaian target amat tergantung pada ketersediaan berbagai bentuk pelayanan, termasuk pelayanan keperawatan. Peran pelayanan keperawatan amat penting terhadap kinerja sistem pelayanan kesehatan nasional dalam kerangka tiga fungsi inti, yaitu stewardship, ketersediaan sumber, dan pemberian pelayanan. Pentingnya jumlah tenaga pemberi pelayanan keperawatan yang memadai, dan tingkat kompetensi serta distribusi perawat, perlu digarisbawahi, karena kelompok tenaga kesehatan ini merupakan komponen infrastruktur bagi pelayanan kesehatan yang esensial.
Perawat sebagai tenaga kesehatan terbesar dengan karakteristik asuhan keperawatan yang konstan, kontinyu, koordinatif dan advokatif, yaitu bekerja secara dekat dan terus menerus dengan komunitas yang membutuhkan bantuan pada semua tatanan pelayanan kesehatan. Pemerintah Timor-Leste memerlukan sejumlah perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan dan bekerja dalam tim kesehatan pada tiap tatanan dan tingkat pelayanan kesehatan, terutama untuk mensukseskan program kesehatan nasional yang memberikan manfaat optimal kepada masyarakat.
Rasio rata rata perawat yang bekerja di 13 distrik adalah 1:2,106. Tantangan yang dihadapi oleh perawat yaitu bekerja tanpa persiapan pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk dapat menganalisis secara kritis masalah kesehatan dan membuat keputusan yang tepat. Ini diperberat dengan sistem pendukung yang kurang memadai, kondisi kerja yang kurang kondusif. Selain itu, sistem rujukan serta perencanaan pemulangan pasien yang dirawat di rumah sakit ke rumah atau masyarakat yang kurang efisien dan efektif. Hal lain yang akan berpengaruh pada kualitas sistem pendidikan adalah keterbatasan sumber pembelajaran baik di kampus maupun di rumah sakit dan komunitas, serta contoh peran dan sistem supervisi, praktik klinik dan lapangan yang belum memadai untuk memberikan pengalaman pembelajaran yang baik berdasarkan kode etik dan benar sesuai dengan standar praktik profesi.
Pengembangan tenaga keperawatan di Timor-Leste melalui persiapan perawat dengan pengetahuan ilmiah, keterampilan dan sikap professional serta dengan berorientasi pada pelayanan kesehatan bagi komunitas, dipandang sebagai kebutuhan yang mendesak untuk menunjukkan model asuhan yang berkualitas, inovatif dan terjangkau untuk menanggapi masalah kesehatan dan menjalankan program kesehatan bagi penduduk rawan dan miskin. Dengan peran penting perawat dalam sistem pelayanan kesehatan komunitas, maka jelas bahwa perawat dan bidan perlu disiapkan dengan keterampilan kepemimpinan dan manajemen yang diperlukan untuk mempengaruhi kebijakan strategik dan proses pengambilan keputusan tidak saja melalui pelatihan, tetapi juga dengan pendidikan formal.
Berdasarkan Dekreto lei nomor: 5/2003/31-12 tentang Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Selain itu ada juga Dekreto lei No. 2/2005/31-5 tentang Pengembangan Institute of Health Sciences atau Institut Ciencia da Saude oleh Konsil Kementerian yang menetapkan salah satu fungsi dari ICS adalah mendidik tenaga kesehatan.
Kerangka kerja manajemen ketenagaan keperawatan dan kebidanan yang
dikenalkan oleh WHO sebagai kerangka kerja komprehensif untuk menyelesaikan masalah sumber daya manusia sebagaimana disajikan dalam gambar 1 merupakan pendekatan terintegrasi untuk memantapkan dan mempercepat jumlah perawat dan bidan melalui program pendidikan yang berkualitas. Paradigma ini menjastifikasi perlunya kurikulum Diploma Keperawatan yang baru yang dirancang untuk pelayanan kesehatan tidak hanya di rumah sakit, tapi juga di komunitas. Kurikulum ini diimplementasikan oleh Program Studi Diploma Keperawatan yang ditubuhkan pada
ICS/IHS (Institute of Health Sciences).
Di Timor-Leste belum terdapat pendidikan tinggi keperawatan. Menurut data AETL (Asosiasi Perawat Timor-Leste) yang pernah disebut sebagai PPNI Timor Timur, terdapat 1,080 orang perawat dengan pendidikan paling rendah yaitu SPK sebanyak 965 orang, Diploma III sebanyak 103 orang dan Sarjana Keperawatan 9 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Timor Leste 1,015,187, maka jumlah perawat yang dibutuhkan masih kurang. Belum lagi kualifikasi sebagaian besar perawat masih rendah atau setara SMA. Berdasarkan hasil pengkajian langsung ke HNGV (Hospital Nacional Guido Valadares) atau Dili National Hospital, maka profil ketenagaan keperawatan adalah total 283 orang perawat yang terdiri dari 261 orang (92%) SPK, 21 orang (7.4%) Diploma III Keperawatan dan hanya 1 orang yang berlatar belakang pendidikan Sarjana Keperawatan. Menurut data ketenagaan keperawatan pada 7 Distrik (Ainaro, Dili, Lautem, Liquica, Manatuto, Oe-cusse) terdapat total 205 orang perawat yang melayani 430,959 penduduk di pelayanan kesehatan CHC, HP dan Mobile Clinic. Berarti terdapat perbandingan perawat dan penduduk pada 7 Distrik tersebut adalah 1 : 2102. Angka ini tidak jauh berbeda dengan yang ditulis dalam BSP (2007), yaitu 1 perawat untuk 2,106 penduduk Timor Leste.
Kondisi ketenagaan keperawatan pada tiap tatanan pelayanan kesehatan menunjukkan masih sangat kurangnya perawat baik dalam jumlah dan kualifikasi. Jika dibandingkan dengan standar rasio Perawat: Penduduk di Thailand yaitu 1:400 dan standar ICN (International Council of Nurses) adalah 1: 250. Ini merupakan tantangan besar bagi Pemerintah Timor-Leste untuk memenuhi kebutuhan perawat yang bekerja di tiap tatanan pelayanan kesehatan.
Memang pernah ada pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan dasar pendidikan umum 9 tahun (SMP/SLP) ditambah 3 tahun pendidikan keperawatan kesehatan dasar yang diorientasikan untuk bekerja di komunitas. Perawat lulusan Diploma III Keperawatan dan SKep/Ners, pada umumnya lulusan dari sistem pendidikan tinggi keperawatan di Indonesia. Berdasarkan kebutuhan Timor-Leste, maka pendidikan Diploma III Keperawatan walaupun dengan dasar pendidikan keperawatan umum atau generalis dan mampu bekerja pada tiap tatanan pelayanan kesehatan, namun difokuskan pada kebutuhan perawat untuk bekerja di komunitas (Community Health Center, Health Post, and Mobile Clinic), serta memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan di rumah penduduk.
Melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan pesan moral; pertama…, dimanapun kita berada sebagai perawat professional kita bertanggungjawab moral untuk membangun profesi keperawatan, tidak terkecuali untuk Timor-Leste. Kedua…belajar dari situasi di Negara lain, kita akan lebih mampu menghargai perkembangan di Negara kita dan kontribusi yang sudah kita lakukan untuk profesi keperawatan, apabila kita mengetahui bahwa ada bagian lain dari dunia ini dengan kondisi perkembangan keperawatan dan kesehatan yang lebih terbelakang dari yang ada di Indonesia. Sebagai refleksi pengembangan program pendidikan Diploma III keperawatan yang baru akan dimulai 2008 di Timor Leste, sudah kita miliki sejak tahun 1962 yaitu 46 tahun yang lalu. Mari kita sambut Program Doktor Keperawatan yang akan segera dibuka di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Namun ingat…., apapun tingkat pendidikan anda…..anda tetap perawat/Ners Indonesia dan….tentunya dengan himbauan moral bahwa kita semua adalah anggota Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang kita cintai.
Jakarta, 29 Februari 2008
Achir Yani S. Hamid